novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Tetapi saya tidak bisa melakukan itu. Menjadi ibu adalah hal terbaik yang terjadi pada saya dan tidak ingin saya tutupi.

“Yes, I’m a mother of two kids, and i’m proud of it!”

Tapi saya harus memerinci syukur itu lagi, saya kira.
Betapa mengantarkan anak-anak tidur, adalah sebuah nikmat yang ternyata telah memberi saya banyak kebahagiaan yang sanggup menghapus kesedihan, kekecewaan dan hal-hal tidak enak yang saya lalui seharian.

Betapa saya bersyukur setiap pagi bisa terbangun dari tidur dan menemukan anak-anak di sisi. Menemani Caca sarapan pagi hingga jemputan sekolah datang, dan melepasnya pergi setelah mencium tangan saya.

Betapa saya bersyukur mendapatkan kecupan di kening setiap pagi oleh Adam ketika dia berpamitan ke sekolah.Betapa saya bersyukur bisa berada di sisi mereka ketika mereka ada masalah. Bahkan ketika keduanya bertengkar dan mencari saya sebagai hakim.

Betapa saya bersyukur ada di dekat Caca, setiap kali dia sedih dan berlari ke arah saya dengan tangan terkembang untuk sebuah pelukan.

Betapa saya bersyukur bisa mendengar kalimat: I love u, Bunda (Caca), I love u, Mama (Adam), atau mendapatkan tatapan Adam yang memandang dalam sebelum berkata: Bunda tahu nggak? Adam tuh cinta sekali sama Bunda!

Kalimat yang biasanya diikuti gerakan tangannya menarik leher saya lembut agar mendekat kepadanya,untuk kemudian mengecup kening saya tepat di tengah-tengah.

Betapa saya bersyukur bisa membaca lembar demi lembar tulisan Caca yang dicoretnya di diary ibu dan anak yang kami miliki, di mana hanya kami berdua yang memiliki akses untuk membacanya.

Betapa saya bersyukur bisa berada di sana, ketika Caca berkata: Menurut Bunda, aku sebaiknya pakai baju apa ya hari ini?

Betapa saya bersyukur bisa bermain kartu tebak-tebakan bersama mereka, bisa mendongeng (meski kadang di tengah kantuk),bisa berjalan sambil menggandeng keduanya di sisi kiri dan kanan saya.

Begitu banyak hal yang harus saya syukuri.
Juga suami bertanggung jawab yang Allah kirimkan untuk saya.
Mami dengan ‘kecerewetan’ dan perhatian yang tak pernah berkurang meski anak perempuannya ini sudah berusia kepala tiga.

Ibu mertua yang kerap membawa masakannya ke rumah, dan menjadi teman ngobrol di telepon.

Juga kakak baik hati yang Allah berikan untuk saya.
Kakak yang memberi saya hadiah acara ulang tahun saya di rumahnya sebelum keberangkatan. Sahabat perempuan terbaik dan teman jalan-jalan yang mengasyikkan.

Baru tiga pekan, sudah begitu banyak kerinduan. Tapi berada jauh dari mereka untuk rentang enam bulan ini sungguh membuat saya menghargai hal-hal kecil namun ternyata telah menjadi sumber dari banyak kebahagiaan.

Hal-hal sederhana yang kini terasa mewah.
Seoui, 10 April, 2006
–o0o–
2 x 24 jam
“Bagaimana perasaan seorang istri, jika menyadari bahwa kebersamaan dengan lelaki yang dicintai mungkin akan berakhir, sebelum 2 k 24 jam?”

Seperti baru kemarin, Nita Sundari, bagian keuangan kami, tergopoh-gopoh berpamitan dari kantor,

“Mbak Asma, Nita pamit dulu…” Ada nada panik pada suaranya ketika melanjutkan, “Adik ipar Nita, suaminya Inge kecelakaan motor.”

Kebersamaan kami sejak awal mendirikan Penerbit Lingkar Pena, cukup membuat saya mengenal sosok Nita Sundari dengan baik. Pribadi bertanggung jawab yang tidak segan-segan melemburkan diri di kantor demi menyelesaikan tugas-tugasnya. Situasi sang adik ipar mestilah mengkhawatirkan hingga Nita sampai merasa perlu segera meninggalkan kantor.
Ujian di tahun kelima perkawinan
Saya tidak mengenal sosok Inge, adik Nita dengan baik.

Hanya satu dua kali pertemuan. Hingga peristiwa kecelakaan motor hari itu, yang meninggalkan catatan mendalam di hati saya.

Usia perkawinan Inge dan Taufik Rahman baru menginjak tahun ke lima ketika peristiwa pahit itu terjadi.

Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan di LSM
UI Depok itu ditemukan orang tergeletak dalam keadaan luka parah di jalan menurun se telah Universitas Indonesia.

Sampai saat ini tidak ada kejelasan bagaimanakah peristiwa sebenarnya. Apakah Taufik terjatuh mengingat memang ada lubang besar tidak jauh dari motornya ditemukan, ataukah lelaki itu merupakan korban tabrak lari?

Kondisinya masih sadar ketika orang-orang membawanya ke RS. Tugu, kemudian dirujuk ke RS UKI.
Masih bisa mengatakan lapar, atau protes ketika pakaiannya hendak dibuka di UGD.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Inge, ibu dari tiga orang anak, ketika kemudian dokter datang, dan memberinya dua pilihan; Taufik harus segera dioperasi, sekalipun peluang berhasil tidak besar.

Pendarahan di otak terlalu parah, ada kemungkinan setelah operasi dilakukan, kalaupun selamat maka akan menimbulkan cacat mental, dalam pengertian suami Inge nanti akan berbicara dan bersikap tak ubahnya anak-anak.

Tetapi jika tidak dioperasi maka Inge dan anak anak tinggal menunggu waktu, hanya bisa pasrah menyaksikan lelaki terkasih itu berpulang.

“Operasi…”
Keputusan itu akhirnya keluar dari bibir Inge.

Saya kira istri mana pun akan berjuang dan memberikan yang terbaik demi pendamping hidup mereka. Apalagi hubungan keduanya sangat harmonis. Inge dan Taufik telah saling melengkapi selama bertahun-tahun, nyaris tanpa pertengkaran.

Operasi dilakukan di tempat. Melihat keadaan Taufik, dokter tidak berani memindahkannya dari UG D dan membawanya ke ruang operasi.Semua benar-benar berpacu dengan waktu.
Masa-masa kritis itu…
Setelah selesai operasi, dokter memanggil pihak keluarga, dan bicara pada sepupu keluarga yang me wakili.

Tidak berapa lama setelah sepupu mereka menyampaikan hasil kesimpulan dokter, Inge langsung pingsan, diikuti ibu mertua dan terakhir Ibu Inge ikut pingsan.

Kondisi pasca operasi Taufik terbilang sangat buruk.

“Kita lihat dalam 2 x 24 jam.”
Jika lelaki itu bisa melewati masa kritisnya, maka kemungkinan besar Taufik akan selamat. Jika tidak, maka 2 x 24 jam itulah sisa waktu yang dimiliki Inge bersama lelaki yang dicintainya.

Hhh… saya tidak kuat membayangkan jika harus berada di posisi Inge saat itu. Terlebih mengingat tiga buah hati mereka, Jihan yang masih berusia tiga tahun, Salsabila yang baru dua tahun dan si bungsu Hamzah yang baru berusia dua bulan, ketiganya masih sangat kecil.

Alhamdulillah 1 x 24 jam pertama terlewati.
Seluruh keluarga menyusun tangan ke atas, terus memanjatkan doa untuk Taufik. Lelaki yang selama ini meski tidak banyak bicara tetapi punya banyak sekali teman. Lelaki sederhana yang kerap menunda-nunda mengganti kacamata, meski sebelah kacanya sudah pecah, untuk keperluan-keperluan keluarga, yang menurutnya lebih penting. Lelaki yang kerap diprotes ipar-iparnya karena dianggap terlalu memanjakan anak-anak.

“Masa sih Mbak… misal anaknya habis pipis. Dia mau tuh turun bantu si kecil bersih-bersih. Terus setiap kali anaknya bilang airnya dingin dan minta air hangat. Buat kita kan repot… apalagi sudah di kamar mandi. Tapi Taufik tuh sabar bukan main. Di-turutin aja meski harus bolak balik ke dapur.”